Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - LONDON. Harga minyak mentah diperkirakan bakal melonjak antara US$ 3 hingga US$ 5 per barel saat perdagangan dibuka kembali pada Minggu (22/6) malam waktu setempat, menyusul serangan militer Amerika Serikat (AS) terhadap Iran akhir pekan ini.
Analis memperingatkan bahwa kenaikan nilai bisa lebih tinggi jika Iran melakukan jawaban keras nan berakibat pada pasokan minyak global.
Baca Juga: Subsidi Energi Aman, APBN Terkendali Selama Harga Minyak di Bawah US$95 per Barel
Presiden AS Donald Trump menyatakan bahwa serangan tersebut telah “menghancurkan” akomodasi nuklir utama Iran.
Ia juga menyatakan bahwa AS bakal melanjutkan serangan terhadap sasaran lain di Iran jika negara tersebut tidak bersedia berdamai.
Serangan ini menandai eskalasi bentrok AS-Iran nan terjadi di tengah agresi militer Israel ke wilayah Iran.
Iran, nan merupakan produsen minyak mentah terbesar ketiga dalam Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC), berjanji bakal memihak diri dan menyatakan semua opsi terbuka.
Baca Juga: AS Serang Fasilitas Nuklir Iran, Harga Minyak bisa Melonjak Jika Konflik Meluas
"Lonjakan nilai minyak sangat mungkin terjadi," kata Jorge Leon, Kepala Analisis Geopolitik di Rystad dan mantan pejabat OPEC.
"Bahkan tanpa jawaban langsung dari Iran, pasar bakal memperhitungkan premi akibat geopolitik nan lebih tinggi."
Analis SEB, Ole Hvalbye, memperkirakan nilai minyak referensi dunia Brent bisa naik antara US$ 3 hingga US$ 5 per barel saat pasar dibuka.
Pada penutupan Jumat (21/6), nilai Brent berada di level US$ 77,01 per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) berada di US$ 73,84.
Ole Hansen dari Saxo Bank menyebut bahwa nilai bisa langsung melonjak US$ 4 hingga US$ 5 per barel, sembari mengantisipasi tindakan ambil untung dari penanammodal nan telah mengambil posisi beli (long position).
Baca Juga: Efek Serangan AS ke Iran: Harga Minyak Terancam Naik dan Rupiah Tertekan
Harga minyak sempat melemah pada Jumat lampau setelah AS mengumumkan hukuman baru mengenai Iran, termasuk terhadap dua entitas nan berbasis di Hong Kong.
Namun secara keseluruhan, sejak bentrok dimulai pada 13 Junidengan serangan Israel ke akomodasi nuklir Iran dan jawaban rudal Iran ke Tel Aviv nilai Brent telah naik 11% dan WTI sekitar 10%.
Meski demikian, analis UBS Giovanni Staunovo menilai bahwa kondisi pasokan dunia nan tetap stabil dan kapabilitas persediaan produksi dari negara OPEC lainnya telah menahan lonjakan nilai minyak lebih lanjut.
"Arah nilai minyak dari titik ini bakal sangat ditentukan oleh apakah terjadi gangguan pasokan. Jika ya, nilai bakal naik lebih tinggi. Tapi jika bentrok mereda, premi akibat bakal menyusut," katanya.
Sementara itu, seorang personil parlemen senior Iran menyatakan bahwa negaranya bisa saja menutup Selat Hormuz sebagai langkah balasan.
Meski demikian, pernyataan lain dari parlemen menyebut bahwa opsi itu hanya bakal diambil jika kepentingan vital Iran terancam.
Baca Juga: Harga Minyak Memanaskan Bisnis Emiten Migas, Cek Rekomendasi Analis
Sebagai informasi, sekitar 20% konsumsi minyak dunia melintasi Selat Hormuz, jalur strategis nan menghubungkan Teluk Persia dengan pasar dunia.
SEB menilai bahwa penutupan Selat Hormuz alias ekspansi bentrok ke negara produsen minyak lain bakal “secara signifikan mengerek nilai minyak.”
Namun, skenario tersebut dinilai tetap sebagai akibat tambahan, bukan skenario utama, mengingat tingginya ketergantungan Tiongkok terhadap minyak dari area Teluk.
Ajay Parmar, Direktur Analis Energi Transisi di ICIS, menilai bahwa meskipun Iran menutup Selat Hormuz, perihal itu kemungkinan tidak bakal memperkuat lama.
Baca Juga: AS Serangan Fasilitas Nuklir Iran: Harga Minyak Melonjak, Investor Cari Aset Aman
“Kebanyakan ekspor minyak Iran ke China juga melewati selat ini, dan Trump tak bakal tinggal tak bersuara menghadapi lonjakan nilai minyak nan diakibatkannya. Tekanan diplomatik dari dua ekonomi terbesar bumi pasti bakal sangat kuat,” kata Ajay.